TUGAS
TERSTRUKTUR
|
DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH
|
Fikih
|
Dra. Hj.
Masunah Hanafi, MA
|
WARIS
Oleh Kelompok
Muslim
|
1501150146
|
Rizal Farid
Pratinio
|
1501150147
|
Alya Ridha
Tifani Harahap
|
1501151134
|
Muhammad
Sadriyannor
|
1501150144
|
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt dengan hati
ikhlas dan pikiran yang tulus dan jernih. Karena rahmat, taufik
dan hidayah serta inayahNya kami dapat menyusun tugas makalah
yang sederhana ini.
Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Sang figur ummat pembawa
rahmat dialah Nabi besar Muhammad SAW yang sujud kepadanya seluruh Malaikat
sedangkan Ia masih terkandung dalam tulang belakang ayahnya yang zahir, yaitu
Nabiyullah Adam A.S.
Pembuatan tugas makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh Dra. Hj. Masunah Hanafi, MA selaku dosen mata kuliah Fikih sebagai bahan dalam mempelajari apa itu “Waris”.
Kami menyadari bahwa
tugas ini masih banyak memiliki kekurangan dan kesalahan dari segi isi, bahasa,
analisis dan lain sebagainya. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan khazanah
dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini.
Banjarmasin, November 2015
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Cover
.......................................................................................
Kata Pengantar.........................................................................I
Daftar isi
.................................................................................II
BAB I
......................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................1
Latar Belakang..............................................................1
Rumusan Masalah.........................................................2
Tujuan Penulisan...........................................................2
BAB II.......................................................................................3
PEMBAHASAN ......................................................................3
A. Pengertian
kewarisan......................................................3
B.
Dasar atau sumber hukum kewarisan dalam
islam.........4
C.
Rukun dan syarat
kewarisan...........................................5
D.
Orang-orang yang berhak menerima warisan.................6
E. Pemabagian
harta warisan secara ishlah (damai)...........7
BAB
III......................................................................................9
1. Kesimpulan.....................................................................9
2. Saran-saran.....................................................................9
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
merupakan makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa,
yang dikaruniai akal dan pikiran, untuk berjalan serta kemampuan bekomunikasi
dan berbicara yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang ada di muka
bumi. Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan tersebarnya
manusia ke berbagai tepat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan manusia itu
sendiri merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain di sekitarnya,
yang dalam persepsi sosiologis yang diartikan sebagai makhluk yang tidak dapat
hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing
memeliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat
saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama
manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermaslahkan
perbedaan warna kulit, ras, etnis, ataupu perbedaan fisik, dengan proporsi yang
seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antar cinta pada diri sendiri denga
cinta kepada sesama manusia lain dengan membatasi menunjukkan rasa cinta mereka.
Syariat
Islam telah menetapkan peraturan-peraturan untuk memawarisi atas sebaik-baik
aturan kekayaan, terjelas dan paling adil. Sebab, Islam mengakui kepemilikan
seseorang atas harta, baik ia laki-laki atau pun perempuan melalui jalan yang
dibenarkan syariat sebagai mana Islam mengakui berpindahnya suatu yang dimiliki
semasa hidup kepada ahli warisnya sesudah matinya baik itu ahli waris laki-laki
atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau orang dewasa.
Islam
mengemukan cara untuk membagi-bagi kekayaan seseorang yang telah dikumpulkan
selama hidupnya, segera setelah orang itu meninggal dunia menurut syariat.
Bapak atau ibu, anak laki-laki atau anak perempuan, saudara laki-laki atau
saudara perempuan, semuanya mempunyai hak atas warisan seseorang, yang harus
dibagi antara mereka sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkam
Islam. Jika tidak terdapat seorang keluarga dekat, haruslah diusahakan mencari
keluarga yang lebih jauh dan kekayaan itu harus dibagi-bagi diantara mereka,
dan seandainya tidak terdapat juga keluarga dekat maupun jauh, dalam keadaan
demikan pun seseorang tidak diijinkan menggunakan adopsi untuk medapatkan hak
waris.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dikemukan diatas, maka yang menjadi pokok permasalah dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
proses penyelesaian sengketa waris secara ishlah?
2. Bagaiman
pandangan hukum Islam tentang sengketa waris?
C. Tujuan Penulisan
Brdasarkan
rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk
mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa waris secara ishlah.
2. Untuk
mengetahui pandangan hukum Islam tentang sengketa waris.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kewarisan
1.
Menurut Bahasa
Kata
waris berasal dari bahas arab mirats. Bentuk
jamaknya adalah ( irts, wirts, wiratsah, dan
turats dimakanakan dengan mauruts) adalah “harta peniiggalan orang
yang diwariskan kepada para warisnya.”
Ilmu yang mempelajari disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan fara’id. Kata fara’id merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah,
yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.
2. Menurut Istilah
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian
ahli waris yeng telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara.
Adapun para fuqaha berpendapat bahwa, tirkah itu ialah apa yang ditinggalkan
oleh seseorang sesudah dia meninggal, baik merupakan harta, maupun merupakan hak yang bersifat harta atau hak yang
lebih kuat unsur harta terhadap hak perorangan, tanpa melihat siapa yang berhak
menerimanya. Maka segala yang ditinggalkan oleh seseorang setelah wafatnya,
dikatakan tirkah, baik yang meninggal
itu berhubungann sebelum meninggal, ataupun tidak, baik hutang-hutangnya
berpautan dengan benda seperti hutang karena menggadaikan sesuatu, ataukah
hutang piutang dengan tanggung jawabnya sendiri, seperti hutang mas kawin.
Hukum
waris (kewarisan) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan
harta peninggalan (tirkah) dari Al-Muwarist
(orang yang mewariskan) kepada ahli waris (Al-Waarits) dengan menetapkan siapa ahli waris dan beberapa hak
bagiannya.
Islam
merupakan agama yang paling sempurna mengatur berbagai macam aspek kehidupan
baik itu yang ada hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia.
Salah satu diantara sekian banyak aturan itu ialah tata cara mengatur pembagian
harta warisan.
Seorang
meninggal dunia yang meninggalkan jumlah harta, salah satu diantaranya masalah
hak waris apabila seseorang meninggal dunia dan mempunyai harta peninggalan
tentulah menjadi persoalan keluarga yang mana harta warisan terrsebut mesti
dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Islam
telah menetapkan bahwa bila seseorang meninggal dunia, maka harta warisan yang
ditinggalkan akan berpindah dan menjadi hak milik ahli warisnya.
B.
Dasar
atau Sumber Hukum Kewarisan Dalam Islam
1.Al-Qur’an
Allah
SWT berfirman:
Yang
artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Q.S.An-Nisa: 7)
Sesuai
dengan isi kandungan hadist dan kompilasi hukum islam, maka dapat dipahami
bahwa harta warisan yang diterima melalui pembagian secara ishlah/damai jelas
menjadi hak penuh ahli waris itu sendiri, sebelum harta itu dibagi secara
ishlah ahli waris menyadari bagian mereka masing-masing yaitu untuk bagian
laki-laki dua bagian dan untuk anak perempuan satu bagian harta sehingga pihak
lain tidak dibenarkan untuk menggugat kembali apa yang telah mereka sepakati
bersama.
2.Al-Hadits
Al-Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, sesuai dengan
kedudukannya, Al-Hadits memberikan penegasan, penjelasan yang belum ada dalam
Al-Qur’an, sekalipun Al-Qur’an membicarakan tentang kewarisan secara jelas,
naun ada beberapa bagian yang memerlukan ketentuan yang lebih rinci. Hadits
Rasullulah diberikan hak interpretasi berupa hak penjelasan, baik berupa
perkaataan (qaul), dengan perbuatan (fi’il) maupun dengan cara pengakuan
(taqrir).
C.
Rukun dan Syarat Kewarisan
1.
Rukun Kewarisan
Rukun waris mewarisi ada tiga macam,
yaitu: waris, harta yang diwariskan dan hak untuk mewarisi dari orang yang
meninggal dunia. Ketiga rukun ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
A.
Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati lantaran
mempunyai sebab untuk mewarisi, seperi adanya ikatan perkawinan, hubungan darah
(keturunan) dan hubungan hak perwalian dangan si amati.
B.
Harta yang diwariskan (maurust), yaitu ahrta bendayang ditinggalkan oleh si
mati yang bakal diwarisi oleh para ahli waris, setelah diambil untuk biaya
perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh
faradhiyun disebut juga dengan tirkah
atau mauruts
2.
Syarat –Syarat Kewarisan
Syarat-syarat
waris mawaris agar ahli berhak menerima harta warisan, yaitu ada tiga unsur
yang harus dipenuhi:
a.
Matinya mawaris (orang yang mewariskan) yaitu
meliputi:
1)
Mati haqiqi (Sejati), adalah hilangnya nyawa seseorang (yang semula nyawa itu
berujud padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tak
kala seseoarang disaksikan meninggal dunia, atau dengan pendeteksian atau
pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seeorang.
2).
Mati hukmy adalah suatu kematian yang
disebabkan oleh keputusan hakim, seperti bila seorang hakim memvonis kematian
si mafqud’ orang yang tidak diketahui
kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya, dan tidak pula diketahui hidup atau
matinya. Status orang ini, jika telah melewati batas waktu yang ditentukan
untuk pencariannya, si mafqud’ karena
didasarkan atas sangkaan yang kuat, bisa dikategorikan sebagai orang yang telah
mati.
3)
Mati takdiryi, adalah suatu kematian
yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contoh, seorang bayi yang
dilahirkan dalam keadaan mati, sedangkan ibunya masih hidup atau bayi itu
meninggal setelah kematian ibu yang melahirkan nya akibat pendarahan, yang mewajibkan
pembayaran sanksi dengan Al-ghurrah (hamba sahaya atau budak perempuan yang
disamakan dengan lima unta yang diberikan kepada ahli waris si bayi).
b.
Hidupnya waris
disaat kematian mawaris
waris yang dimaksud
disini adalah para ahli waris yang benar-benar hidup disaat meninggalnya si
pewaris baik secara haqiqi, hukmy, maupun taqdiry.
c.
Tidak adanya
penghalang-penghalang mewarisi (Mawani’ul irtsi)
Sekalipun 2 syarat
kewarisan itu telah ada pada muwarrits dan Waris, namun salah
seorang dari mereka tidak dapat mewariskan harta peninggalannya kepada yang
lain atau mewarisi dari yang lain.
D.
Orang-Orang
Yang Berhak Menerima Waris
Masalah
yang menyangkut warisan seperti halnya masalah lain yang dihadapi manusia, ada
yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an maupun Hadits dengan
keterangan yang konkrit, sehingga tidak timbul berbagai interpretasi, bahkan
tercapai Ijma (consensus) dikalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan
suami atau istri, bapak atau ibu dan anak ( laki-laki maupun perempuan),
sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan hak
bagiannya masing-masing.
1. Hak
pertama
Dimulai dari pengambilan peninggalan
mayit untuk biaya mengkafani dan dilengkapi dengan cara yang telah ditetapkan
dalam islam
2. Hak
kedua
Melunasi hutang-hutangnya, Ibnu Hazin
dan Asy-Syafi’i mendahulukan hutang kepada Allah dengan adanya kematian maka
hutang kepada Allah itu tidak wajib untuk dibayar oleh ahli waris, kecuali
apabila meraka secara suka rela membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk
membayarnya.
3. Hak
ketiga
Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa
harta semuanya sesudah hutang dibayar.
4. Hak
keempat
Pembagian sisa hartanya diantara para
ahli waris.
E.
Pemabagian
Harta Warisan Secara Ishlah (Damai)
Ishlah yang dimaksudkan
disini ialah kesepakatan untuk membagi harta warisan dengan cara sama rata
diantara ahli waris laki-laki dan perempuan, atau melebihkan bagian diantara
ahli waris laki-laki, yang dilakukan atas dasar saling rela diantara ahli waris
yang tidak dikonkritkan diatas kertas atau segel. Sedangkan pengertian menurut
bahasa dan istilah banyak terdapat dalam beberapa kitab, dalam buku diantarnya
buku terjemahan Kifayatul Akhyar dijelaskan bahwa: ishlah menurut bahasa
artinya: damai, sedangkan menurut istilah berarti akad perdamaian antara orang
yang berselisih.
Berdasarkan buku Ilmu
Fikih III disebutkan: sebenarnya dalam hukum islam diperbolehkan melakukan
pembagian waris dengan jalan damai (Ishlah) atas dasar saling merelakan (An-taradin)
diantara semua ahli waris.
Adapun syarat-syarat melakukan Ishlah itu adalah
sebagai berikut:
1. Berakal
sehat
2. Pihak-pihak
yang melakukan ishlah sudah dewasa
3. Pelaksanaan
ishlah dalam lapangan yang berkaitan dengan kebendaan, sehingga pada anak-anak
harus ada walinya
4. Salah
satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang yang murtad. Syarat ini
dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah, sedangkan Jumhur Ulama tidak memakai
persyaratan ini
Dan
dalam kompilasi hukum islam pada pasal 183 yang membenarkan adanya kesepakatan
untuk pembagian harta warisan yang berbunyi sebagai berikut: “Para ahli waris
dapat bersepakat melakukan perdamian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya”.
Pembagian
harta warisan yang disamaratakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan itu
boleh asal tidak melanggar syariat islam, dan boleh hal ini dikatakan hibah,
artinya ahli waris laki-laki kepada ahli waris perempuan yang demikian
dibenarkan oleh islam dengan niat baik.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut
ajaran islam penyelesaian sengketa waris secara ishlah atau damai itu boleh
dengan syarat adanya kesepakatan dan saling mengetahui satu sama lain serta
membawa kemaslahatan bagi semua ahli waris, dan tidak melanggar syariat seperti
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal demi kepentingan
pribadi atau golongan
B.
Saran
– Saran
1. Bagi
pihak ahli waris yang melakukan bagian harta warisan berpedoman kepada
ketentuan-ketentuan ajaran islam, baik berdasarkan ilmu Fara’idh atau secara ishlah
2. Kepada
pihak yang berwenang harus memberikan penjelasan kepada masing-masing ahli
waris tentang porsi yang harus diterimanya menurut bagian fara’idh sebelum
dilakukan pembagian secara ishlah.
DAFTAR
PUSTAKA
Indriani, Dewi Penyelesaian
Sengketa Waris Secara Ishlah Di Kelurahan Kuripan Kecamatan Banjarmasin Timur
Kota Banjarmasin, Banjarmasin, IAIN Antasari Press, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar