TUGAS TERSTRUKTUR
Fikih Muamalat
|
Dosen
Pengampu Mata Kuliah
Hj.
Zulpa Makiah, S.Ag, MHI
|
Ijarah
Oleh :
Kelompok
Nama
|
NIM
|
Muhammad Sadriyannor
|
1501150144
|
Muhammad Ridho Akbar
|
1501150143
|
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
2015/2016
IJARAH
A.
PENGERTIAN IJARAH
Sebelum
dijelaskan pengertian ijarah, terlebih dahulu akan di kemukakan mengenai makna
operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh
Syafi’i, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Hal ini
terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir
dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah),
sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya
Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua
buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke
dalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna
operasioal. Sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “Seorang mahasiswa
menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan
untuk tenaga, seperti, “Para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya
(upahnya) satu kali dalam seminggu”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut
ijarah[1].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian
sewa adalah 1 pemakaian sesuatu
dengan membayar uang; 2 uang yang dibayarkan karena memakai atau
meminjam sesuatu; ongkos; biaya pengangkutan (transpor); 3 yang boleh
dipakai setelah dibayar dengan uang[2].
Sedangkan pengertian upah adalah 1 uang dan sebagainya
yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah
dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu; gaji; imbalan; 2 hasil sebagai akibat (dari suatu perbuatan);
risiko.[3]
Ijarah secara
bahasa berarti upah sewa. Jasa atau imbalan. Ia sesungguhnya merupakan
transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda. Transaksi ijarah
merupakan bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup.[4]
Ijarah adalah menukar sesuatu dengan adanya
imbalannya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan
upah-mengupah.
Sewa-menyewa
adalah “Menjual manfaat”, dan upah mengupah adalah “Menjual tenaga atau
kekuatan”.[5]
B.
DASAR HUKUM IJARAH
Kebolehan transaksi ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan
Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Dasar hukum
ijarah dari Al-Qur’an adalah:
QS. Al-Baqarah:
233, yang artinya: “Jika kamu hendak menyusukan anak kamu (kepada orang
lain) maka tidak berdosa apabila kamu memberikan pembayaran secara pantas.
Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ingatlah bahwa Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
QS. Al-Zuhruf: 32, yang artinya: “Apakah
mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan penghidupan
mereka di dunia ini, dan telah kami lebihkan sebagian kamu atas sebagian kamu
atas sebagian lainnya beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempekerjakan
sebagian yang lain.” [6]
QS. At-Talaq: 6,
yang artinya: “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah
upah.” [7]
Dasar hukum
ijarah dari Al-Hadist adalah:
“Diriwayatkan
dari Ibn Abbas ra. bahwasanya Rasullah SAW. pernah berbekam, kemudian beliau
memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya.” (HR.Bukhari)
“Diriwayatkan
dari Umar ra. bahwasanya Nabi Muhammad SAW. bersabda, “ berikanlah upah pekerja
sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah).[8]
“Barang siapa
yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abdul Razaqdari
Abu Hurairah).
C.
RUKUN IJARAH
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul,
antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan
al-kira.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4, yaitu:
1. Aqid (orang yang akad)
2. Shigat akad
3. Ujrah (upah)
4. Manfaat
D.
SYARAT SAH IJARAH
Ada 5 syarat sah dari ijarah, diantaranya:
1. Kerelaan dari dua
pihak yang melakukan akad ijarah tersebut.
2. Mengetahui manfaat
dengan sempurna barang yang diakadkan, sehungga mencegah terjadinya
perselisihan,
3. Kegunaan dari baang
tersebut
4. Kemanfaatan benda
dibolehkan menurut syara’
5. Objek transaksi akad
itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan
realita.[9]
E.
RUSAKNYA IJARAH
Rusaknya Ijarah disebabkan karena:
1. Meninggalnya salah
satu dari orang yang menyewa dan menyewakan, tidak berakibat batalnya akad sewa
menyewa. Akad sewa menyewa dianggap batal apabila barang sewaannya rusak dan
tidak dapat diambil manfaatnya lagi. Hal ini kalau barang yang disewa itu
tertentu pada waktu akad itu terjadi.
2. Menyewa
barang-barang dalam tanggungan seseorang, seperti menyewa mobil yang dinaiki
itu tidak membatalkan akad sewa-menyewa yang demikian pada hakikatnya bukan
menyewa zat mobil, tetapi mengambil manfaat dari segi kemampuan mobil tersebut
untuk mengangkut orang lain dari tempat ke tempat yang ditentukan.
3. Apabila barang
sewaannya sewaktu digunakan tiba-tiba rusak, maka penyewa tidak harus
menggantinya, kecuali karena kelengahannya.[10]
F.
BEBERAPA MASALAH DALAM PRAKTEK IJARAH
1. PERIHAL PEMANFAATAN
BARANG
Jika seseorang menyewa sebuah
rumah tempat tinggal, maka ia berhak memanfaatkan fungsi rumah tersebut sebagai
tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun orang lain. Ia juga berhak
mentanshurufkan fungsi rumah tersebut, sepanjang tidak menyalahi fungsi rumah
tersebut.
Jika seseorang menyewa sebidang
tanah, maka dalam akad harus dijelaskan fungsi tanah tersebut, apakah untuk
pertanian, perkebunan, atau untuk mendirikan bangunan. Pihak penyewa tidak
berhak memanfaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang dinyatakan dalam akad.
2. PERIHAL PERBAIKAN
OBJEK SEWA
Terkadang sebuah objek sewa
tidak dilengkapi sarana yang layak untuk menunjang fungsinya. Seperti rumah
yang tidak dilengkapi dengan sumur , tidak ada saluran air, atau tidak
berjendela, gentengnya pecah-pecah dan lain sebagainya. Siapakah yang wajib
memperbaikinya, apak pihak penyewa atau pemilik?
Semua bentuk perbaikan fisik
rumah yang berkenaan dengan fungsi utamanya sebagai tempat tinggal pada
prinsipnya menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun demikian pihak penyewa
tidak berhak menuntut perbaikan fasilitas rumah. Sebab pihak pemilik menyewakan
rumah dengan segala kekurangan yang ada. Dan kesepakatan pihak penyewa tentunya
dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang ada. Kecuali
perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad.
Adapun kewajiban pihak penyewa
sebatas pada perawatan seperti menjaga kebersihan dan tidak merusak. Sebab di
tangan pihak penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat.
3. KERUSAKAN BARANG
SEWAAN
Akad ijarah dapatlah
dikatakan sebagai akad menjual-belikan antara manfaat barang dengan jumlah sewa
(ujrah). Dengan demikian tujuan ijarah dari pihak penyewa adalah pemanfaatan
fungsi barang secara optimal. Sedang dari pihak pemilik, ijarah bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa.
Apabila objek sewa rusak sebelum terjadi
penyerahan maka akad ijarah batal. Apabila kerusakan tersebut terjadi
setelah penyerahan maka harus dipertimbangkan faktor penyebab kerusakan
tersebut. Kalau kerusakan tersebut tidak disebabkan karena kelalaian atau
kecerobohan pihak penyewa berhak membatalkan sewa dan menuntut ganti rugi atas
tidak terpenuhi haknya manfaatkan barang secara optimal. Sebaliknya jika
kerusakan tersebut disebabkan kesalahan atau kecerobohan pihak penyewa, maka
pihak pemilik tidak berhak membatalkan akad sewa, tetapi ia berhak menuntut
perbaikan atas kerusakan barangnya.
Demikian juga bila barang
tersebut hilang atau musnah. Maka segala bentuk kecerobohan menimbulkan
kewajiban atau tanggung jawab atas pelakunya, dan pada sisi lain mendatangkan
hak menuntut ganti rugi bagi pihak yang dirugikan.[11]
[1] Prof. Dr. H.
Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2014),
hlm. 113.
[2] Ebta Setiawan, KBBI
Online, http://kbbi.web.id/sewa
diakses di Banjarmasin, pada Jum’at, 18 Maret 2016, pukul 00.27 WITA.
[3] Ebta Setiawan, KBBI
Online, http://kbbi.web.id/upah
diakses di Banjarmasin, pada Jum’at, 18 Maret 2016, pukul 00.29 WITA.
[4] Drs. Ghufron A.
Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press
bekerjasama dengan IAIN Wali Songo Semarang, 2002), hlm. 181.
[5] Prof. Dr. H.
Hendi Suhendi, M.Si, Op.cit., hlm. 115.
[6] Drs. Ghufron A.
Mas’adi, M.Ag., Op.cit., hlm. 182.
[7] Dra. Hj.
Masunah Hanafi, M.A, Fiqh Praktis, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press,
2015), hlm. 102
[8] Drs. Ghufron A.
Mas’adi, M.Ag., Op.cit., hlm. 183.
[9] Dra. Hj.
Masunah Hanafi, M.A, Op.cit., hlm. 102-103.
[10] DRS. Moh.
Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,1978), hlm.
429.
[11] Drs. Ghufron
A. Mas’adi, M.Ag., Op.cit., hlm. 187-189.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta:
Rajawali Press.
Setiawan, Ebta. 2016. KBBI Online, http://kbbi.web.id/ diakses di Banjarmasin.
A. Mas’adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta:
Rajawali Press bekerjasama dengan IAIN Wali Songo Semarang.
Hanafi, Masunah. 2015, Fiqh Praktis, Banjarmasin:
IAIN Antasari Press.
Rifa’i, Moh..1978. Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT.
Karya Toha Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar