Halaman

Selasa, 31 Mei 2016

ijarah


TUGAS TERSTRUKTUR
Fikih Muamalat
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Hj. Zulpa Makiah, S.Ag, MHI

Ijarah


Oleh :
Kelompok
Nama
NIM
Muhammad Sadriyannor
1501150144
Muhammad Ridho Akbar
1501150143


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
2015/2016
IJARAH
A.    PENGERTIAN IJARAH
     Sebelum dijelaskan pengertian ijarah, terlebih dahulu akan di kemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
     Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasioal. Sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “Seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti, “Para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah[1].
     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian sewa adalah 1 pemakaian sesuatu dengan membayar uang; 2 uang yang dibayarkan karena memakai atau meminjam sesuatu; ongkos; biaya pengangkutan (transpor); 3 yang boleh dipakai setelah dibayar dengan uang[2]. Sedangkan pengertian upah adalah 1 uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu; gaji; imbalan; 2  hasil sebagai akibat (dari suatu perbuatan); risiko.[3]
     Ijarah secara bahasa berarti upah sewa. Jasa atau imbalan. Ia sesungguhnya merupakan transaksi yang memperjual-belikan manfaat suatu harta benda. Transaksi ijarah merupakan bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.[4]
     Ijarah  adalah menukar sesuatu dengan adanya imbalannya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
     Sewa-menyewa adalah “Menjual manfaat”, dan upah mengupah adalah “Menjual tenaga atau kekuatan”.[5]


B.     DASAR HUKUM IJARAH
     Kebolehan transaksi ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan Al-Qur’an dan Al-Hadist.
     Dasar hukum ijarah dari Al-Qur’an adalah:
     QS. Al-Baqarah: 233, yang artinya: “Jika kamu hendak menyusukan anak kamu (kepada orang lain) maka tidak berdosa apabila kamu memberikan pembayaran secara pantas. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ingatlah bahwa Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
     QS. Al-Zuhruf: 32, yang artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan penghidupan mereka di dunia ini, dan telah kami lebihkan sebagian kamu atas sebagian kamu atas sebagian lainnya beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempekerjakan sebagian yang lain.” [6]
     QS. At-Talaq: 6, yang artinya: “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah upah.” [7]
     Dasar hukum ijarah dari Al-Hadist adalah:
     “Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. bahwasanya Rasullah SAW. pernah berbekam, kemudian beliau memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya.” (HR.Bukhari)
     “Diriwayatkan dari Umar ra. bahwasanya Nabi Muhammad SAW. bersabda, “ berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah).[8]
     “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah).

C.    RUKUN IJARAH
     Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan al-kira.
     Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4, yaitu:
1.      Aqid (orang yang akad)
2.      Shigat akad
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat

D.    SYARAT SAH IJARAH
     Ada 5 syarat sah dari ijarah, diantaranya:
1.      Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut.
2.      Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehungga mencegah terjadinya perselisihan,
3.      Kegunaan dari baang tersebut
4.      Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
5.      Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.[9]

E.     RUSAKNYA IJARAH
     Rusaknya Ijarah disebabkan karena:
1.      Meninggalnya salah satu dari orang yang menyewa dan menyewakan, tidak berakibat batalnya akad sewa menyewa. Akad sewa menyewa dianggap batal apabila barang sewaannya rusak dan tidak dapat diambil manfaatnya lagi. Hal ini kalau barang yang disewa itu tertentu pada waktu akad itu terjadi.
2.      Menyewa barang-barang dalam tanggungan seseorang, seperti menyewa mobil yang dinaiki itu tidak membatalkan akad sewa-menyewa yang demikian pada hakikatnya bukan menyewa zat mobil, tetapi mengambil manfaat dari segi kemampuan mobil tersebut untuk mengangkut orang lain dari tempat ke tempat yang ditentukan.
3.      Apabila barang sewaannya sewaktu digunakan tiba-tiba rusak, maka penyewa tidak harus menggantinya, kecuali karena kelengahannya.[10]

F.     BEBERAPA MASALAH DALAM PRAKTEK IJARAH
1.      PERIHAL PEMANFAATAN BARANG
     Jika seseorang menyewa sebuah rumah tempat tinggal, maka ia berhak memanfaatkan fungsi rumah tersebut sebagai tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun orang lain. Ia juga berhak mentanshurufkan fungsi rumah tersebut, sepanjang tidak menyalahi fungsi rumah tersebut.
     Jika seseorang menyewa sebidang tanah, maka dalam akad harus dijelaskan fungsi tanah tersebut, apakah untuk pertanian, perkebunan, atau untuk mendirikan bangunan. Pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang dinyatakan dalam akad.
2.      PERIHAL PERBAIKAN OBJEK SEWA
     Terkadang sebuah objek sewa tidak dilengkapi sarana yang layak untuk menunjang fungsinya. Seperti rumah yang tidak dilengkapi dengan sumur , tidak ada saluran air, atau tidak berjendela, gentengnya pecah-pecah dan lain sebagainya. Siapakah yang wajib memperbaikinya, apak pihak penyewa atau pemilik?
     Semua bentuk perbaikan fisik rumah yang berkenaan dengan fungsi utamanya sebagai tempat tinggal pada prinsipnya menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun demikian pihak penyewa tidak berhak menuntut perbaikan fasilitas rumah. Sebab pihak pemilik menyewakan rumah dengan segala kekurangan yang ada. Dan kesepakatan pihak penyewa tentunya dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang ada. Kecuali perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad.
     Adapun kewajiban pihak penyewa sebatas pada perawatan seperti menjaga kebersihan dan tidak merusak. Sebab di tangan pihak penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat.
3.      KERUSAKAN BARANG SEWAAN
     Akad ijarah dapatlah dikatakan sebagai akad menjual-belikan antara manfaat barang dengan jumlah sewa (ujrah). Dengan demikian tujuan ijarah dari pihak penyewa adalah pemanfaatan fungsi barang secara optimal. Sedang dari pihak pemilik, ijarah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa.
     Apabila objek sewa rusak sebelum terjadi penyerahan maka akad ijarah batal. Apabila kerusakan tersebut terjadi setelah penyerahan maka harus dipertimbangkan faktor penyebab kerusakan tersebut. Kalau kerusakan tersebut tidak disebabkan karena kelalaian atau kecerobohan pihak penyewa berhak membatalkan sewa dan menuntut ganti rugi atas tidak terpenuhi haknya manfaatkan barang secara optimal. Sebaliknya jika kerusakan tersebut disebabkan kesalahan atau kecerobohan pihak penyewa, maka pihak pemilik tidak berhak membatalkan akad sewa, tetapi ia berhak menuntut perbaikan atas kerusakan barangnya.
     Demikian juga bila barang tersebut hilang atau musnah. Maka segala bentuk kecerobohan menimbulkan kewajiban atau tanggung jawab atas pelakunya, dan pada sisi lain mendatangkan hak menuntut ganti rugi bagi pihak yang dirugikan.[11]


[1] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 113.
[2] Ebta Setiawan, KBBI Online, http://kbbi.web.id/sewa diakses di Banjarmasin, pada Jum’at, 18 Maret 2016, pukul 00.27 WITA.
[3] Ebta Setiawan, KBBI Online, http://kbbi.web.id/upah diakses di Banjarmasin, pada Jum’at, 18 Maret 2016, pukul 00.29 WITA.
[4] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Press bekerjasama dengan IAIN Wali Songo Semarang, 2002), hlm. 181.
[5] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si, Op.cit., hlm. 115.
[6] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Op.cit., hlm. 182.
[7] Dra. Hj. Masunah Hanafi, M.A, Fiqh Praktis, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2015), hlm. 102
[8] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Op.cit., hlm. 183.
[9] Dra. Hj. Masunah Hanafi, M.A, Op.cit., hlm. 102-103.
[10] DRS. Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,1978), hlm. 429.
[11] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag., Op.cit., hlm. 187-189.
 


DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Press.
Setiawan, Ebta. 2016. KBBI Online, http://kbbi.web.id/ diakses di Banjarmasin.
A. Mas’adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press bekerjasama dengan IAIN Wali Songo Semarang.
Hanafi, Masunah. 2015, Fiqh Praktis, Banjarmasin: IAIN Antasari Press.
Rifa’i, Moh..1978. Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar