Halaman

Selasa, 01 Desember 2015

Waris [Fikih]


TUGAS TERSTRUKTUR
DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH
Fikih
Dra. Hj. Masunah Hanafi, MA


WARIS

Oleh Kelompok
Muslim
1501150146
Rizal Farid Pratinio
1501150147
Alya Ridha Tifani Harahap
1501151134
Muhammad Sadriyannor
1501150144





INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt dengan hati ikhlas dan pikiran yang tulus dan jernih. Karena rahmat, taufik dan hidayah serta inayahNya kami dapat menyusun tugas makalah yang sederhana ini.
Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Sang figur ummat pembawa rahmat dialah Nabi besar Muhammad SAW yang sujud kepadanya seluruh Malaikat sedangkan Ia masih terkandung dalam tulang belakang ayahnya yang zahir, yaitu Nabiyullah Adam A.S.
Pembuatan tugas makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh Dra. Hj. Masunah Hanafi, MA selaku dosen mata kuliah Fikih sebagai bahan dalam mempelajari apa itu “Waris”.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih banyak memiliki kekurangan dan kesalahan dari segi isi, bahasa, analisis dan lain sebagainya. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan khazanah dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini.

Banjarmasin, November 2015
Tim Penulis


DAFTAR ISI
Cover .......................................................................................
Kata Pengantar.........................................................................I
Daftar isi .................................................................................II
BAB I ......................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................1
Latar Belakang..............................................................1
Rumusan Masalah.........................................................2
Tujuan Penulisan...........................................................2
BAB II.......................................................................................3
PEMBAHASAN ......................................................................3
A.    Pengertian kewarisan......................................................3
B.     Dasar atau sumber hukum kewarisan dalam islam.........4
C.     Rukun dan syarat kewarisan...........................................5
D.    Orang-orang yang berhak menerima warisan.................6
E.     Pemabagian harta warisan secara ishlah (damai)...........7
BAB III......................................................................................9
1.      Kesimpulan.....................................................................9
2.      Saran-saran.....................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................10



 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, untuk berjalan serta kemampuan bekomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang ada di muka bumi. Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan tersebarnya manusia ke berbagai tepat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan manusia itu sendiri merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain di sekitarnya, yang dalam persepsi sosiologis yang diartikan sebagai makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing memeliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermaslahkan perbedaan warna kulit, ras, etnis, ataupu perbedaan fisik, dengan proporsi yang seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antar cinta pada diri sendiri denga cinta kepada sesama manusia lain dengan membatasi menunjukkan rasa cinta mereka.
Syariat Islam telah menetapkan peraturan-peraturan untuk memawarisi atas sebaik-baik aturan kekayaan, terjelas dan paling adil. Sebab, Islam mengakui kepemilikan seseorang atas harta, baik ia laki-laki atau pun perempuan melalui jalan yang dibenarkan syariat sebagai mana Islam mengakui berpindahnya suatu yang dimiliki semasa hidup kepada ahli warisnya sesudah matinya baik itu ahli waris laki-laki atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau orang dewasa.
Islam mengemukan cara untuk membagi-bagi kekayaan seseorang yang telah dikumpulkan selama hidupnya, segera setelah orang itu meninggal dunia menurut syariat. Bapak atau ibu, anak laki-laki atau anak perempuan, saudara laki-laki atau saudara perempuan, semuanya mempunyai hak atas warisan seseorang, yang harus dibagi antara mereka sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkam Islam. Jika tidak terdapat seorang keluarga dekat, haruslah diusahakan mencari keluarga yang lebih jauh dan kekayaan itu harus dibagi-bagi diantara mereka, dan seandainya tidak terdapat juga keluarga dekat maupun jauh, dalam keadaan demikan pun seseorang tidak diijinkan menggunakan adopsi untuk medapatkan hak waris.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukan diatas, maka yang menjadi pokok permasalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses penyelesaian sengketa waris secara ishlah?
2.      Bagaiman pandangan hukum Islam tentang sengketa waris?
C.     Tujuan Penulisan
Brdasarkan rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk:
1.      Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa waris secara ishlah.
2.      Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang sengketa waris.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Kewarisan
1.              Menurut Bahasa
Kata waris berasal dari bahas arab mirats. Bentuk jamaknya adalah ( irts, wirts, wiratsah, dan turats dimakanakan dengan mauruts) adalah “harta peniiggalan orang yang diwariskan kepada para warisnya.”
          Ilmu yang mempelajari disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan fara’id. Kata fara’id merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.
2.         Menurut Istilah
            Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yeng telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara. Adapun para fuqaha berpendapat bahwa,  tirkah itu ialah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah dia meninggal, baik merupakan  harta, maupun merupakan hak yang bersifat harta atau hak yang lebih kuat unsur harta terhadap hak perorangan, tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya. Maka segala yang ditinggalkan oleh seseorang setelah wafatnya, dikatakan tirkah, baik yang meninggal itu berhubungann sebelum meninggal, ataupun tidak, baik hutang-hutangnya berpautan dengan benda seperti hutang karena menggadaikan sesuatu, ataukah hutang piutang dengan tanggung jawabnya sendiri, seperti hutang mas kawin.
Hukum waris (kewarisan) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) dari Al-Muwarist (orang yang mewariskan) kepada ahli waris (Al-Waarits) dengan menetapkan siapa ahli waris dan beberapa hak bagiannya.
Islam merupakan agama yang paling sempurna mengatur berbagai macam aspek kehidupan baik itu yang ada hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia. Salah satu diantara sekian banyak aturan itu ialah tata cara mengatur pembagian harta warisan.
Seorang meninggal dunia yang meninggalkan jumlah harta, salah satu diantaranya masalah hak waris apabila seseorang meninggal dunia dan mempunyai harta peninggalan tentulah menjadi persoalan keluarga yang mana harta warisan terrsebut mesti dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Islam telah menetapkan bahwa bila seseorang meninggal dunia, maka harta warisan yang ditinggalkan akan berpindah dan menjadi hak milik ahli warisnya.
B.            Dasar atau Sumber Hukum Kewarisan Dalam Islam
1.Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
Yang artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Q.S.An-Nisa: 7)
Sesuai dengan isi kandungan hadist dan kompilasi hukum islam, maka dapat dipahami bahwa harta warisan yang diterima melalui pembagian secara ishlah/damai jelas menjadi hak penuh ahli waris itu sendiri, sebelum harta itu dibagi secara ishlah ahli waris menyadari bagian mereka masing-masing yaitu untuk bagian laki-laki dua bagian dan untuk anak perempuan satu bagian harta sehingga pihak lain tidak dibenarkan untuk menggugat kembali apa yang telah mereka sepakati bersama.
2.Al-Hadits
            Al-Hadits adalah sumber hukum  kedua setelah Al-Qur’an, sesuai dengan kedudukannya, Al-Hadits memberikan penegasan, penjelasan yang belum ada dalam Al-Qur’an, sekalipun Al-Qur’an membicarakan tentang kewarisan secara jelas, naun ada beberapa bagian yang memerlukan ketentuan yang lebih rinci. Hadits Rasullulah diberikan hak interpretasi berupa hak penjelasan, baik berupa perkaataan (qaul), dengan perbuatan (fi’il) maupun dengan cara pengakuan (taqrir).
C.            Rukun dan Syarat Kewarisan
1. Rukun Kewarisan
            Rukun waris mewarisi ada tiga macam, yaitu: waris, harta yang diwariskan dan hak untuk mewarisi dari orang yang meninggal dunia. Ketiga rukun ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati lantaran mempunyai sebab untuk mewarisi, seperi adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dangan si amati.
B. Harta yang diwariskan (maurust), yaitu ahrta bendayang ditinggalkan oleh si mati yang bakal diwarisi oleh para ahli waris, setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh faradhiyun disebut juga dengan tirkah atau mauruts
2. Syarat –Syarat Kewarisan
Syarat-syarat waris mawaris agar ahli berhak menerima harta warisan, yaitu ada tiga unsur yang harus dipenuhi:
a.        Matinya mawaris (orang yang mewariskan) yaitu meliputi:
1) Mati haqiqi (Sejati), adalah hilangnya nyawa seseorang (yang semula nyawa itu berujud padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tak kala seseoarang disaksikan meninggal dunia, atau dengan pendeteksian atau pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seeorang.
2). Mati hukmy adalah suatu kematian yang disebabkan oleh keputusan hakim, seperti bila seorang hakim memvonis kematian si mafqud’ orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya, dan tidak pula diketahui hidup atau matinya. Status orang ini, jika telah melewati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud’ karena didasarkan atas sangkaan yang kuat, bisa dikategorikan sebagai orang yang telah mati.
3) Mati takdiryi, adalah suatu kematian yang semata-mata berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contoh, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, sedangkan ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah kematian ibu yang melahirkan nya akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan Al-ghurrah (hamba sahaya atau budak perempuan yang disamakan dengan lima unta yang diberikan kepada ahli waris si bayi).
b.       Hidupnya waris  disaat kematian mawaris
waris yang dimaksud disini adalah para ahli waris yang benar-benar hidup disaat meninggalnya si pewaris baik secara haqiqi, hukmy, maupun  taqdiry.
c.       Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi (Mawani’ul irtsi)
Sekalipun 2 syarat kewarisan itu telah ada pada muwarrits dan Waris, namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewariskan harta peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi dari yang lain.
D.           Orang-Orang Yang Berhak Menerima Waris
Masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah lain yang dihadapi manusia, ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an maupun Hadits dengan keterangan yang konkrit, sehingga tidak timbul berbagai interpretasi, bahkan tercapai Ijma (consensus) dikalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami atau istri, bapak atau ibu dan anak ( laki-laki maupun perempuan), sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan hak bagiannya masing-masing.
1.      Hak pertama
Dimulai dari pengambilan peninggalan mayit untuk biaya mengkafani dan dilengkapi dengan cara yang telah ditetapkan dalam islam
2.      Hak kedua
Melunasi hutang-hutangnya, Ibnu Hazin dan Asy-Syafi’i mendahulukan hutang kepada Allah dengan adanya kematian maka hutang kepada Allah itu tidak wajib untuk dibayar oleh ahli waris, kecuali apabila meraka secara suka rela membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk membayarnya.
3.      Hak ketiga
Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang dibayar.
4.      Hak keempat
Pembagian sisa hartanya diantara para ahli waris.
E.            Pemabagian Harta Warisan Secara Ishlah (Damai)
Ishlah yang dimaksudkan disini ialah kesepakatan untuk membagi harta warisan dengan cara sama rata diantara ahli waris laki-laki dan perempuan, atau melebihkan bagian diantara ahli waris laki-laki, yang dilakukan atas dasar saling rela diantara ahli waris yang tidak dikonkritkan diatas kertas atau segel. Sedangkan pengertian menurut bahasa dan istilah banyak terdapat dalam beberapa kitab, dalam buku diantarnya buku terjemahan Kifayatul Akhyar dijelaskan bahwa: ishlah menurut bahasa artinya: damai, sedangkan menurut istilah berarti akad perdamaian antara orang yang berselisih.
Berdasarkan buku Ilmu Fikih III disebutkan: sebenarnya dalam hukum islam diperbolehkan melakukan pembagian waris dengan jalan damai (Ishlah) atas dasar saling merelakan (An-taradin) diantara semua ahli waris.
Adapun  syarat-syarat melakukan Ishlah itu adalah sebagai berikut:
1.      Berakal sehat
2.      Pihak-pihak yang melakukan ishlah sudah dewasa
3.      Pelaksanaan ishlah dalam lapangan yang berkaitan dengan kebendaan, sehingga pada anak-anak harus ada walinya
4.      Salah satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang yang murtad. Syarat ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah, sedangkan Jumhur Ulama tidak memakai persyaratan ini
Dan dalam kompilasi hukum islam pada pasal 183 yang membenarkan adanya kesepakatan untuk pembagian harta warisan yang berbunyi sebagai berikut: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.
Pembagian harta warisan yang disamaratakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan itu boleh asal tidak melanggar syariat islam, dan boleh hal ini dikatakan hibah, artinya ahli waris laki-laki kepada ahli waris perempuan yang demikian dibenarkan oleh islam dengan niat baik.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut ajaran islam penyelesaian sengketa waris secara ishlah atau damai itu boleh dengan syarat adanya kesepakatan dan saling mengetahui satu sama lain serta membawa kemaslahatan bagi semua ahli waris, dan tidak melanggar syariat seperti menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal demi kepentingan pribadi atau golongan
B.     Saran – Saran
1.      Bagi pihak ahli waris yang melakukan bagian harta warisan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan ajaran islam, baik berdasarkan  ilmu Fara’idh atau secara ishlah
2.      Kepada pihak yang berwenang harus memberikan penjelasan kepada masing-masing ahli waris tentang porsi yang harus diterimanya menurut bagian fara’idh sebelum dilakukan pembagian secara ishlah.


DAFTAR PUSTAKA
Indriani, Dewi Penyelesaian Sengketa Waris Secara Ishlah Di Kelurahan Kuripan Kecamatan Banjarmasin Timur Kota Banjarmasin, Banjarmasin, IAIN Antasari Press, 2011




Tidak ada komentar:

Posting Komentar